Postingan

LET'S EAT!

Suksesnya acara silaturahmi Idul Fitri tahun kemarin menyisakan kebiasaan baru di cluster saya. Ibu-ibu jadi suka ngumpul terus masak bareng dan makan ramai-ramai beralaskan daun pisang. Dari lauk sederhana hanya sambal jengkol dan lalap daun singkong rebus, hingga menu serba sea food ala-ala resto di pinggir pantai. Tidak ada jadwal khusus kapan acara makan bersama akan diadakan. Tidak ada keharusan berpartisipasi di tiap acara makan-makan. Bebas saja. Misalkan ketika ada rencana mau bakar ikan, saya memilih tidak ikut. Karena saya tidak suka aroma ikan yang dibakar. Mual. Besarnya iuran pun beragam. Tergantung menu yang akan di masak. Kalau hanya sekadar sambal jengkol, sepuluh ribu saja cukup. Nasi bawa dari rumah masing-masing. Sepuluh ribu untuk satu keluarga. Yang punya anak banyak, tetap saja bayarnya sama. Untung, kan? Yang penting kebersamaannya. Dan jangan membicarakan diet di acara seperti ini. Bisa rusak selera makan. Demi lancarnya aliran informasi, ibu-i

(16) - SERANGAN AWAL

Gambar
Tidak perlu waktu lama untuk membujuk kucing yang kelaparan. Setelah berhari-hari tidak makan enak, kucing kelaparan yang mulai gila dan liar akan dengan lahap menyantap menu yang tersaji lengkap di atas meja. Mungkin kucing liar itu akan sedikit kalap dan ingin menghabiskan seluruh makanan di meja itu. Dia mengacak-acak piring satu dan piring yang lain. Dicicipi sedikit, dilepeh. Lalu pindah ke piring yang lain. Digigit sedikit, lalu dibuang. Begitu seterusnya hingga akhirnya dia bosan dan meninggalkan hidangan di atas meja, mencari makanan lain yang lebih menggugah selera. Hastuti menggelinjang di atas kasur. Di atas tubuhnya, Wijat mencapai puncaknya yang pertama. Ini baru permulaan, pikir Hastuti. Dia masih punya bermacam cara untuk membuat laki-laki yang kini terengah di sampingnya tak bisa lagi lepas darinya. Dia juga berencana agar laki-laki ini meninggalkan perempuan yang telah menjadikannya simpanan. Oh, ya, dia tahu semuanya tentang Wijat. Mungkin dipikirnya, Ha

(15 ) - BERMAIN API

Pantai Teluk Penyu masih sama seperti dulu. Pasirnya yang keras dan hitam, anginnya yang kencang, juga ombak yang bergulung-gulung menakutkan. Deira memandang satu titik di cakrawala, kapal tanker yang telah selesai menurunkan muatannya di area 70 telah pergi. Mengarungi ganasnya lautan untuk menemukan pelabuhan-pelabuhan baru tempatnya mengangkut dan menurunkan muatan. Begitu pula dengan perasaannya. Sebentar lagi pelabuhannya di sisi Banyu akan berakhir. Deira harus kembali pada kenyataan, bersama suaminya yang semakin tua dan sakit-sakitan. Bertualang dari dekapan pria satu ke pria lainnya untuk menemukan kepuasan yang tidak dia peroleh dari suaminya. “Kenapa, Bee?” tanyanya sekali lagi. Pertanyaan yang sama untuk ke sekian kali. Jawaban berbeda tiap kali ditanyakan. Entah apa jawaban Banyu sekarang. “Sudahlah, Dee. Itu sudah berlalu, nggak perlu lagi diungkit. Seharusnya kita jalani saja yang sekarang. Kita sudah cukup bersenang-senang selama beberapa hari ini. Dan itu

(14 ) - PEREMPUAN DI BALIK HUJAN

. ERVAN . Aku melihatnya pertama kali, saat hujan datang tak di undang. Turun lebat tak terkira, membanjiri selokan juga lapangan basket. Menggenang di beberapa lantainya yang coak. Menguyupkan jaring-jaring di keranjang dan membuatnya lunglai, tak lagi menarik untuk dimasuki bola. Aku melihatnya pertama kali, di sini, di belakang perpustakaan. Tempat yang sama seperti aku selalu melihatnya. Memperhatikannya menangis. Tanpa ada nyali untuk mendekati dan menghiburnya. Lalu tahun pun berganti-ganti. Dan aku masihlah pemuda yang memandang dari kejauhan. Seperti saat ini, setelah puluhan tahun berlalu. Dan aku diberi kesempatan untuk memandangnya lagi. Tapi, lagi-lagi, aku tak punya nyali untuk duduk di sampingnya dan merengkuh bahunya dalam pelukannku. Aku terlalu pengecut untuk mengambil tempat Adhit yang saat ini duduk di sampingnya. Aku masih laki-laki tolol yang memandangi dari balik pohon akasia yang semakin tua. Dadaku berdenyut-denyut. Amarah karena ketidakmampuan t